- Sejarah Logika
Awal lahirnya ilmu logika tidak bisa dilepaskan dari upaya
para ahli fikir Yunani. Mereka berusaha menganalisis kaedah-kaedah berfikir dan
menghindari terjadinya kesalahan dalam membuat kesimpulan. Ahli fikir
yang mempelopori perkembangan logika sejak awal lahirnya adalah Aristoteles
(384-322 SM). Karya-karya beliau bukan saja di bidang logika, namun juga di
berbagai bidang keilmuan, baik ilmu alam maupun ilmu social. Perkembangan
logika setelah masa Arsitoteles banyak dilanjutkan oleh para muridnya, di
antaranya Theoprastus dan Porphyrus.
Theoprastus adalah murid yang memimpin aliran peripatetic
(warisan gurunya) yang telah menyumbangkan pemikiran tentang pengertian yang
mungkin (yaitu pengertian yang tidak mengandung kontradiksi dalam dirinya) dan
sifat asasi dari setiap kesimpulan (harus mengikuti unsure terlemah dalam
pangkal fikir).
Adapun Porphyrus adalah seorang ahli fikir dari Iskandariah
yang amat terkenal dalam bidang logika. Yang telah menambahkan satu bagian baru
dalam pelajaran baru dalam logika, yang dinamakan eisagoge. Dalam
pelajaran ini dibahas lingkungan zat dan sifat di dalam alam yang sering
disebut klasifikasi. Pada masanya, logika telah berkembang ke berbagai wilayah,
seperti Athena, Antiokia, Iskandariyah, dan Roma.
Di samping jasa muridnya, perkembangan logika juga mengalami
kendala. Pada tahun 325 M, di mana Kaisar Konstantin bertahta, telah
berlangsung sidang Gereja I di dunia, yaitu di Nicae yang dihadiri para Bishop
dan Patriach. Yang salah satu keputusannya adalah membatasi pelajaran logika
hanya sampai Perihermenias, sedangkan bagian-bagian lain dilarang.
Sebagai dampak dari pelaragan ini adalah munculnya inisiatif
dari seorang komentator, yaitu Boethius (480-524 M) untuk menerjemahkan buku
logika dari bahasa Yunani (greek) ke dalam bahasa Latin. Buku yang
diterjemahkan tersebut adalah termasuk buku yang dilarang, sebagai
konsekuensinya Boethius dijatuhi hukuman mati. Sejak saat itulah pelajaran
logika di Barat hampir selama seribu tahun juga mengalami kematian pemikiran.
- Perkembangan Logika pada Zaman
Islam
Upaya untuk mengembangkan logika, tampak dari upaya beberapa
filsuf Islam yang aktif menyalin buku-buku karya Aristoteles ke dalam bahasa
Arab. Di antara filsuf Islam tersebut adalah Johana bin Pafk yang menyalin buku
kategori Aristoteles menjadi Manqulatul Assyarat li Aristu, Ibnu Sikkit
Jakub Al Nahwi (803-859 M) memberi komentar dan tambahan dalam bukunya Ishlah
fil Manthiqi, Jakub bin Ishak Al Kindi (791-863 M) menyalin bagian-bagian
logika Aristoteles dan memberi komentar satu per satu. Penyalinan bagian-bagian
ini tidak dilarang oleh kaum Gereja.
Sementara itu, terdapat juga beberapa penyalinan dari karya
Aristoteles yang jelas-jelas dilarang, sebagaimana dilakukan oleh Ishak bin
Hunain yang telah menyalin karya Aristoteles berjudul Categoriae dan
De Interpretation ke dalam bahasa Arab menjadi Maqulat li Aristu dan
Kitabu Aristhathalis: Bari Armanias. Kemudian Said bin Jakub Al Dimsyiki
menyalin eisagoge dan topica menjadi Isaghuji wa tupigha
Aristu. Abubisyri Matta Al Mantiqi menyalin Analytica dengan nama Kitabul
Burhan.
Penyalinan karya Aristoteles di atas, masih dalam bentuk
bagian demi bagian, sehingga kurang menyeluruh dan tidak dapat dipahami secara
komprehensif. Upaya untuk menerjemahkan karya Aristoteles dalam bentuk
menyeluruh telah dilakukan oleh Al Farabi (873-950 M). Di samping mampu
menguasai bahasa Yunani tua (Greek), beliau juga dikenal sebagai guru
kedua sesudah Aristoteles karena ulasan dan komentar-komentarnya. Beliau telah
menghasilkan empat karya di bidang logika, yaitu:
·
Kutubul
Manthiqil Tsamaniyat (menyalin dan memberi komentar tujuh bagian karya
Aristoteles dan menambahkan 1 bab yang baru, sehingga kesemuanya adalah delapan
buah)
·
Muqaddamat
Isaguji Allati Wadha’aha Purpurius (memberikan komentar atas bagian klasifikasi yang
diciptakan Porphyrus)
·
Risalat
fil Manthiqi, al qaulu fi syaraitil yaqini (membahas dan merumuskan
syarat-syarat kontradiksi dari karya Aristoteles)
·
Risalat
fil qiyas, fushulun yuhtajju ilaihi fi shina’atil manthiqi (membahas bentuk-bentuk silogisme
dan merumuskan persyaratan berdasarkan hokum Aristoteles)
Ahli pikir Islam lainnya yang juga ikut mengembangkan logika
adalah Abu Abdillah Al Khawarizmi, yang telah menyusun dan menciptakan Aljabar
serta buku Mafatihul Ulum fil Manthiqi (berisi komentar tentang logika),
Ibn Sina dengan karya besarnya Asyiffa, yang salah satu bagiannya
membahas tentang logika. Adapun karyanya yang khusus membahas logika adalah Isyarat
wal Tanbihat fil Manthiqi. Buku ini setelah diolah oleh pemikir Barat,
dijadikan sebagai standar pelajaran logika pada abad ke 17 dan telah melahirkan
aliran Port Royal di Perancis.
Memasuki abad ke 14, banyak reaksi yang muncul terhadap
pelajaran tentang logika. Mereka dipandang terlalu memuja akal dalam mencari
kebenaran sehingga banyak tuduhan ekstrem kepada para pemuja akal ini. Ahmad
Ibnu Taimiyah (1263-1328 M) menentang pelajaran logika dengan mengeluarkan
sebuah karya Fashihtu ahlil imam fil raddi’ala manthiqil Yunani
(ketangkasan pendukung keimanan menangkis logika Yunani). Adapun Saaduddin Al
Taftazani ((1322-1389 M) telah menjatuhkan hukuman haram bagi orang yang
mempelajari logika.
Perkembangan logika semakin redup dengan jatuhnya Andalusia
pada pertengahan abad ke 15 hingga abad ke 20 hanya beberapa karya logika yang
lahir, di antaranya karya Ibnu Khaldun, Al Duwani, dan Al Akhdhari. Untuk karya
Al Akhdhari (Sullam fil Manthiqi) banyak dipakai sebagai pelajaran dasar
logika di dunia Islam, termasuk Indonesia. Namun, semangat untuk mempelajari
logika mulai bangkit kembali pada awal abad 20 dengan munculnya gerakan
pembaharuan Islam di Mesir yang dipelopori oleh Jamaluddin Al Afghani dan
Muhammad Abduh.
- Perkembangan
Logika di Barat
Petrus Alberadus (1079-1142 M) adalah ahli pikir yang
mencoba menghidupkan kembali pelajaran logika di perguruan tinggi. Upaya beliau
adalah menyampaikan pelajaran logika dari Aristoteles yang tidak dilarang, di
antaranya Categoriae, Eisagoge, dan De Interpretatione.
Meskipun demikian, beliau berusaha untuk menggali naskah dari Cicero (Topic),
Apuleus (komentar tentang perihermenias), dan Bothius (komentar
tentang De Interpretatione). Keseluruhan naskah ini kemudian dikenal
sebagai Ars Vetus (logika tua).
Jadi, jika diringkas sejarah logika pertama kali disusun
oleh Aristoteles, sebagai sebuah ilmu tentang hukum berfikir guna memelihara
jalan fikiran dari setiap kekeliruan. Logika sebagai ilmu baru pada waktu itu,
disebut dengan nama analitika dan dialektika. Kumpulan karya tulis Aristoteles
mengenai logika diberi nama Organon.
Theoprastus, memberi sumbangan terbesar dalam logika, yaitu
penafsirannya tentang pengertian yang mungkin dan juga tentang sebuah sifat
asasi dari setiap kesimpulan. Kemudian Porphyrus seorang ahli fikir di
Iskandariyah menambahkan satu bagian baru dalam pelajaran logika. Bagian baru
ini disebut eisagoge, yakni sebagai pengantar categorie. Dalam
bagian baru ini dibahas lingkungan zat dan lingkungan sifat di dalam alam yang
biasa disebut dengan klasifikasi.
Kemudian, Petrus Hispanus menyusun pelajaran logika
berbentuk sajak. Petrus inilah yang pertama kali mempergunakan berbagai nama
untuk system penyimpulan yang sah dalam perkaitan bentuk silogisme kategorik
dalam sebuah sajak. Kumpulan sajak Petrus mengenai logika ini bernama summulae.
Francis Bacon kemudian melancarkan serangan sengketa terhadap logika dan
mengajurkan penggunaan system induksi secara lebih luas. Serangan Bacon
terhadap logika ini memperoleh sambutan hangat dari berbagai kalangan di Barat
sehingga kemudian perhatian lebih ditujukan kepada system induksi.
Pembaruan logika di Barat berikutnya disusul oleh penulis
lainnya di antaranya Leibniz. Ia menganjurkan penggantian pernyataan dengan
symbol-simbol agar lebih umum sifatnya dan lebih mudah melakukan analisis.
Demikian juga Leonhard Euler, seorang ahli matematika dan logika Swiss
melakukan pembahasan tentang term-term dengan menggunakan lingkaran-lingkaran
untuk melukiskan hubungan antarterm yang terkenal dengan sebutan sirkel
Eurel.
John Stuart Mill mempertemukan system induksi dengan system
deduksi. Setiap pangkal fikir besar di dalam deduksi memerlukan induksi dan
sebaliknya memerlukan deduksi bagi penyusunan pikiran mengenai hasil ekprimen
dan penyilidikan. Jadi, kedua-duanya bukan bagian yang saling terpisah, tetapi
sebetulnya saling membantu. Logika formal sesudah masa Mill lahirlah sekian
banyak buku baru dan ulasan baru tentang logika. Sejak pertengahan abad ke 19
mulai lahir satu cabang baru yang disebut dengan logika simbolis. Pelopor
logika simbolis pada dasarnya sudah dimulai oleh Leibniz.
Logika simbolis pertama kali dikembangkan oleh George Boole
dan Augustus de Morgan. Boole secara sistematis dengan memakai symbol-simbol
yang cukup luas dan metode analisis menurut matematika, dan de Morgan merupakan
seorang ahli matematika Inggris yang memberi sumbangan besar kepada logika
simbolis dengan pemikirannya tentang relasi dan negasi. Tokoh logika simbolis
yang lain adalah John Venn, ia berusaha menyempurnakan analisis logis dari
Boole dengan merancang diagram lingkaran yang kini dikenal sebagai Diagram Venn
untuk menggambarkan hubungan-hubungan dan memeriksa sahnya penyimpulan dari
silogisme.
- Fungsi
dan Manfaat Logika
Ada
beberapa fungsi logika, yaitu:
- Membantu setiap orang yang mempelajari logika untuk
berfikir secara rasional, kritis, lurus, tepat, tertib, metodis, dan
koheren.
- Meningkatkan kemampuan berfikir secara abstrak,
cermat, dan objektif
- Menambah kecerdasan dan meningkatkan kemampuan
berfikir secara tajam dan mandiri
- Meningkatkan cinta akan kebenaran dan menghindari
kekeliruan serta kesesatan
Di samping fungsi tersebut, logika juga dapat memberikan
manfaat teoritis dan praktis. Dari segi kemanfaatan teoritis, logika sebagai
ilmu banyak menyajikan dalil-dalil, hukum berfikir logis, dengan demikian
logika mengajarkan tentang berfikir seharusnya. Dalam arti ini, logika adalah
ilmu normative, karena logika membicarakan tentang berfikir sebagaimana
seharusnya bukan membicarakan tentang berfikir sebagaimana adanya dalam
ilmu-ilmu positif, seperti fisika, psikologi, dan sebagainya. Dengan berfikir
sebagaimana seharusnya, ini berarti logika memberikan syarat-syarat tentang apa
yang harus dipenuhi dalam berfikir untuk mencapai gagasan tentang kebenaran.
Dari segi kemanfaatan praktis, akal semakin tajam dan tinggi
kemampuannya (kritis) dalam hal imajinasi logis. Imajinasi logis adalah
kemampuan akal untuk menggambarkan kemungkinan terjadinya sesuatu sebagai
keputusan akal yang benar dan runtut (consistent).
Bagi ilmu pengetahuan, logika merupakan keharusan. Tidak ada
ilmu pengetahuan yang tidak didasarkan pada logika. Ilmu pengetahuan tanpa
logika tidak akan pernah mencapai kebenaran ilmiyah. Sebagaimana dikemukakan
Aristoteles, logika benar-benar merupakan alat bagi seluruh episteme
(pengetahuan). Oleh karena itu, barang siapa mempelajari logika, sesungguhnya
ia telah menggenggam master of key untuk membuka semua pintu masuk ke
berbagai disiplin ilmu pengetahuan.
- Sejarah Logika
Awal lahirnya ilmu logika tidak bisa dilepaskan dari upaya
para ahli fikir Yunani. Mereka berusaha menganalisis kaedah-kaedah berfikir dan
menghindari terjadinya kesalahan dalam membuat kesimpulan. Ahli fikir
yang mempelopori perkembangan logika sejak awal lahirnya adalah Aristoteles (384-322
SM). Karya-karya beliau bukan saja di bidang logika, namun juga di berbagai
bidang keilmuan, baik ilmu alam maupun ilmu social. Perkembangan logika setelah
masa Arsitoteles banyak dilanjutkan oleh para muridnya, di antaranya
Theoprastus dan Porphyrus.
Theoprastus adalah murid yang memimpin aliran peripatetic
(warisan gurunya) yang telah menyumbangkan pemikiran tentang pengertian yang
mungkin (yaitu pengertian yang tidak mengandung kontradiksi dalam dirinya) dan
sifat asasi dari setiap kesimpulan (harus mengikuti unsure terlemah dalam
pangkal fikir).
Adapun Porphyrus adalah seorang ahli fikir dari Iskandariah
yang amat terkenal dalam bidang logika. Yang telah menambahkan satu bagian baru
dalam pelajaran baru dalam logika, yang dinamakan eisagoge. Dalam
pelajaran ini dibahas lingkungan zat dan sifat di dalam alam yang sering
disebut klasifikasi. Pada masanya, logika telah berkembang ke berbagai wilayah,
seperti Athena, Antiokia, Iskandariyah, dan Roma.
Di samping jasa muridnya, perkembangan logika juga mengalami
kendala. Pada tahun 325 M, di mana Kaisar Konstantin bertahta, telah
berlangsung sidang Gereja I di dunia, yaitu di Nicae yang dihadiri para Bishop
dan Patriach. Yang salah satu keputusannya adalah membatasi pelajaran logika
hanya sampai Perihermenias, sedangkan bagian-bagian lain dilarang.
Sebagai dampak dari pelaragan ini adalah munculnya inisiatif
dari seorang komentator, yaitu Boethius (480-524 M) untuk menerjemahkan buku
logika dari bahasa Yunani (greek) ke dalam bahasa Latin. Buku yang
diterjemahkan tersebut adalah termasuk buku yang dilarang, sebagai
konsekuensinya Boethius dijatuhi hukuman mati. Sejak saat itulah pelajaran
logika di Barat hampir selama seribu tahun juga mengalami kematian pemikiran.
- Perkembangan Logika pada Zaman
Islam
Upaya untuk mengembangkan logika, tampak dari upaya beberapa
filsuf Islam yang aktif menyalin buku-buku karya Aristoteles ke dalam bahasa
Arab. Di antara filsuf Islam tersebut adalah Johana bin Pafk yang menyalin buku
kategori Aristoteles menjadi Manqulatul Assyarat li Aristu, Ibnu Sikkit
Jakub Al Nahwi (803-859 M) memberi komentar dan tambahan dalam bukunya Ishlah
fil Manthiqi, Jakub bin Ishak Al Kindi (791-863 M) menyalin bagian-bagian
logika Aristoteles dan memberi komentar satu per satu. Penyalinan bagian-bagian
ini tidak dilarang oleh kaum Gereja.
Sementara itu, terdapat juga beberapa penyalinan dari karya
Aristoteles yang jelas-jelas dilarang, sebagaimana dilakukan oleh Ishak bin
Hunain yang telah menyalin karya Aristoteles berjudul Categoriae dan
De Interpretation ke dalam bahasa Arab menjadi Maqulat li Aristu dan
Kitabu Aristhathalis: Bari Armanias. Kemudian Said bin Jakub Al Dimsyiki
menyalin eisagoge dan topica menjadi Isaghuji wa tupigha
Aristu. Abubisyri Matta Al Mantiqi menyalin Analytica dengan nama Kitabul
Burhan.
Penyalinan karya Aristoteles di atas, masih dalam bentuk
bagian demi bagian, sehingga kurang menyeluruh dan tidak dapat dipahami secara
komprehensif. Upaya untuk menerjemahkan karya Aristoteles dalam bentuk
menyeluruh telah dilakukan oleh Al Farabi (873-950 M). Di samping mampu
menguasai bahasa Yunani tua (Greek), beliau juga dikenal sebagai guru
kedua sesudah Aristoteles karena ulasan dan komentar-komentarnya. Beliau telah
menghasilkan empat karya di bidang logika, yaitu:
·
Kutubul Manthiqil
Tsamaniyat
(menyalin dan memberi komentar tujuh bagian karya Aristoteles dan menambahkan 1
bab yang baru, sehingga kesemuanya adalah delapan buah)
·
Muqaddamat
Isaguji Allati Wadha’aha Purpurius (memberikan komentar atas bagian klasifikasi yang
diciptakan Porphyrus)
·
Risalat
fil Manthiqi, al qaulu fi syaraitil yaqini (membahas dan merumuskan
syarat-syarat kontradiksi dari karya Aristoteles)
·
Risalat
fil qiyas, fushulun yuhtajju ilaihi fi shina’atil manthiqi (membahas bentuk-bentuk silogisme
dan merumuskan persyaratan berdasarkan hokum Aristoteles)
Ahli pikir Islam lainnya yang juga ikut mengembangkan logika
adalah Abu Abdillah Al Khawarizmi, yang telah menyusun dan menciptakan Aljabar
serta buku Mafatihul Ulum fil Manthiqi (berisi komentar tentang logika),
Ibn Sina dengan karya besarnya Asyiffa, yang salah satu bagiannya
membahas tentang logika. Adapun karyanya yang khusus membahas logika adalah Isyarat
wal Tanbihat fil Manthiqi. Buku ini setelah diolah oleh pemikir Barat, dijadikan
sebagai standar pelajaran logika pada abad ke 17 dan telah melahirkan aliran Port
Royal di Perancis.
Memasuki abad ke 14, banyak reaksi yang muncul terhadap
pelajaran tentang logika. Mereka dipandang terlalu memuja akal dalam mencari
kebenaran sehingga banyak tuduhan ekstrem kepada para pemuja akal ini. Ahmad
Ibnu Taimiyah (1263-1328 M) menentang pelajaran logika dengan mengeluarkan
sebuah karya Fashihtu ahlil imam fil raddi’ala manthiqil Yunani
(ketangkasan pendukung keimanan menangkis logika Yunani). Adapun Saaduddin Al
Taftazani ((1322-1389 M) telah menjatuhkan hukuman haram bagi orang yang
mempelajari logika.
Perkembangan logika semakin redup dengan jatuhnya Andalusia
pada pertengahan abad ke 15 hingga abad ke 20 hanya beberapa karya logika yang
lahir, di antaranya karya Ibnu Khaldun, Al Duwani, dan Al Akhdhari. Untuk karya
Al Akhdhari (Sullam fil Manthiqi) banyak dipakai sebagai pelajaran dasar
logika di dunia Islam, termasuk Indonesia. Namun, semangat untuk mempelajari
logika mulai bangkit kembali pada awal abad 20 dengan munculnya gerakan
pembaharuan Islam di Mesir yang dipelopori oleh Jamaluddin Al Afghani dan
Muhammad Abduh.
- Perkembangan
Logika di Barat
Petrus Alberadus (1079-1142 M) adalah ahli pikir yang
mencoba menghidupkan kembali pelajaran logika di perguruan tinggi. Upaya beliau
adalah menyampaikan pelajaran logika dari Aristoteles yang tidak dilarang, di
antaranya Categoriae, Eisagoge, dan De Interpretatione.
Meskipun demikian, beliau berusaha untuk menggali naskah dari Cicero (Topic),
Apuleus (komentar tentang perihermenias), dan Bothius (komentar
tentang De Interpretatione). Keseluruhan naskah ini kemudian dikenal
sebagai Ars Vetus (logika tua).
Jadi, jika diringkas sejarah logika pertama kali disusun
oleh Aristoteles, sebagai sebuah ilmu tentang hukum berfikir guna memelihara
jalan fikiran dari setiap kekeliruan. Logika sebagai ilmu baru pada waktu itu,
disebut dengan nama analitika dan dialektika. Kumpulan karya tulis Aristoteles
mengenai logika diberi nama Organon.
Theoprastus, memberi sumbangan terbesar dalam logika, yaitu
penafsirannya tentang pengertian yang mungkin dan juga tentang sebuah sifat
asasi dari setiap kesimpulan. Kemudian Porphyrus seorang ahli fikir di
Iskandariyah menambahkan satu bagian baru dalam pelajaran logika. Bagian baru
ini disebut eisagoge, yakni sebagai pengantar categorie. Dalam
bagian baru ini dibahas lingkungan zat dan lingkungan sifat di dalam alam yang
biasa disebut dengan klasifikasi.
Kemudian, Petrus Hispanus menyusun pelajaran logika
berbentuk sajak. Petrus inilah yang pertama kali mempergunakan berbagai nama
untuk system penyimpulan yang sah dalam perkaitan bentuk silogisme kategorik
dalam sebuah sajak. Kumpulan sajak Petrus mengenai logika ini bernama summulae.
Francis Bacon kemudian melancarkan serangan sengketa terhadap logika dan
mengajurkan penggunaan system induksi secara lebih luas. Serangan Bacon
terhadap logika ini memperoleh sambutan hangat dari berbagai kalangan di Barat
sehingga kemudian perhatian lebih ditujukan kepada system induksi.
Pembaruan logika di Barat berikutnya disusul oleh penulis
lainnya di antaranya Leibniz. Ia menganjurkan penggantian pernyataan dengan
symbol-simbol agar lebih umum sifatnya dan lebih mudah melakukan analisis.
Demikian juga Leonhard Euler, seorang ahli matematika dan logika Swiss
melakukan pembahasan tentang term-term dengan menggunakan lingkaran-lingkaran
untuk melukiskan hubungan antarterm yang terkenal dengan sebutan sirkel
Eurel.
John Stuart Mill mempertemukan system induksi dengan system
deduksi. Setiap pangkal fikir besar di dalam deduksi memerlukan induksi dan
sebaliknya memerlukan deduksi bagi penyusunan pikiran mengenai hasil ekprimen
dan penyilidikan. Jadi, kedua-duanya bukan bagian yang saling terpisah, tetapi
sebetulnya saling membantu. Logika formal sesudah masa Mill lahirlah sekian
banyak buku baru dan ulasan baru tentang logika. Sejak pertengahan abad ke 19
mulai lahir satu cabang baru yang disebut dengan logika simbolis. Pelopor
logika simbolis pada dasarnya sudah dimulai oleh Leibniz.
Logika simbolis pertama kali dikembangkan oleh George Boole
dan Augustus de Morgan. Boole secara sistematis dengan memakai symbol-simbol
yang cukup luas dan metode analisis menurut matematika, dan de Morgan merupakan
seorang ahli matematika Inggris yang memberi sumbangan besar kepada logika
simbolis dengan pemikirannya tentang relasi dan negasi. Tokoh logika simbolis
yang lain adalah John Venn, ia berusaha menyempurnakan analisis logis dari
Boole dengan merancang diagram lingkaran yang kini dikenal sebagai Diagram Venn
untuk menggambarkan hubungan-hubungan dan memeriksa sahnya penyimpulan dari
silogisme.
- Fungsi
dan Manfaat Logika
Ada beberapa fungsi logika, yaitu:
- Membantu setiap orang yang mempelajari logika untuk
berfikir secara rasional, kritis, lurus, tepat, tertib, metodis, dan
koheren.
- Meningkatkan kemampuan berfikir secara abstrak,
cermat, dan objektif
- Menambah kecerdasan dan meningkatkan kemampuan
berfikir secara tajam dan mandiri
- Meningkatkan cinta akan kebenaran dan menghindari
kekeliruan serta kesesatan
Di samping fungsi tersebut, logika juga dapat memberikan
manfaat teoritis dan praktis. Dari segi kemanfaatan teoritis, logika sebagai
ilmu banyak menyajikan dalil-dalil, hukum berfikir logis, dengan demikian
logika mengajarkan tentang berfikir seharusnya. Dalam arti ini, logika adalah
ilmu normative, karena logika membicarakan tentang berfikir sebagaimana
seharusnya bukan membicarakan tentang berfikir sebagaimana adanya dalam
ilmu-ilmu positif, seperti fisika, psikologi, dan sebagainya. Dengan berfikir
sebagaimana seharusnya, ini berarti logika memberikan syarat-syarat tentang apa
yang harus dipenuhi dalam berfikir untuk mencapai gagasan tentang kebenaran.
Dari segi kemanfaatan praktis, akal semakin tajam dan tinggi
kemampuannya (kritis) dalam hal imajinasi logis. Imajinasi logis adalah
kemampuan akal untuk menggambarkan kemungkinan terjadinya sesuatu sebagai
keputusan akal yang benar dan runtut (consistent).
Bagi ilmu pengetahuan, logika merupakan keharusan. Tidak ada
ilmu pengetahuan yang tidak didasarkan pada logika. Ilmu pengetahuan tanpa
logika tidak akan pernah mencapai kebenaran ilmiyah. Sebagaimana dikemukakan
Aristoteles, logika benar-benar merupakan alat bagi seluruh episteme
(pengetahuan). Oleh karena itu, barang siapa mempelajari logika, sesungguhnya
ia telah menggenggam master of key untuk membuka semua pintu masuk ke
berbagai disiplin ilmu pengetahuan.